TAXI KONVENSIONAL DAN TAXI APLIKASI

Beberapa hari yang lalu, Penulis melihat berita di Televisi. Berita tentang aksi unjuk rasa/demo para sopir taxi. Dimana aksi tersebut berakhir dengan bentrokan fisik, jatuh korban. Secara umum, demo tersebut terjadi karena beroperasinya taxi “golongan baru” yang sering disebut taxi aplikasi. Jadi, dalam tulisan ini, ada dua objek yang akan dibahas, yaitu Taxi Konvensional dan Taxi Aplikasi.

Tulisan ini (sejatinya) tidak butuh tanggapan atau komentar dari para pembaca. Penulis hanya mencoba mengajak para pembaca untuk melihat dan menimbang suatu permasalahan secara jernih dan obyektif. Dalam usaha untuk mempersempit topik bahasan, Penulis telah menentukan arah tulisan ini menjadi murni tentang taxi. Bukan termasuk angkutan lain seperti bus umum dan ojek. Karena, sebelum tulisan ini diterbitkan, beberapa orang sudah bertanya-tanya tentang keributan ojek-ojek. Memang mirip dengan situasi taxi saat ini, tetapi sangat jauh berbeda, dan akan dibahas pada tulisan lain nantinya.

Apa itu taxi konvensional?
Penulis Indon mencoba menjawab dalam bahasa yang paling sederhana. Jadi, jangan berharap agar Penulis membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) hanya untuk menjawab pertanyaan di atas. Taxi Konvensional adalah jenis alat transportasi umum, berupa kendaraan bermotor roda lima (plus ban serep), dimana ditawarkan kenyamanan dan keamanan serta “privasi yang lebih” daripada angkutan umum yang “umum” itu. Dengan kata lain, taxi konvensional adalah angkutan umum pribadi (bingung kan?).

Nah, sudah dipaparkan apa itu taxi konvensional. Taxi Aplikasi adalah angkutan umum yang mirip taxi konvensional juga. Bentuk model nyaris sama. Bedanya adalah taxi konvensional adalah kendaraan umum seperti paparan di atas. Nah, taxi aplikasi adalah angkutan umum yang “dijadikan umum”. Nah biar semakin bingung, taxi aplikasi adalah kendaraan pribadi yang “di taxi kan”. Biar aja makin bingung.

Angkutan Umum yang “dijadikan umum” maksudnya adalah: Angkutan mode ini (angkutan umum, karena buat umum) mulai diluncurkan/dioperasikan (baca:dijadikan umum). Moda transportasi ini yang belakangan ini dipermasahkan. Kendaraan pribadi yang “di taxi kan” maksudnya adalah: Angkutan model ini sesungguhnya adalah kendaraan pribadi. Tetapi difungsikan jadi taxi. Dalam bahasa Penulis, ini yang disebut “Taxi Illegal”.

Terkait dengan isu di atas (bentrok sesama sopir taxi), sebagai Analis Isu atau Pengamat Isu, sudah selayaknyalah Penulis memaparkan Analisanya. Konflik yang terjadi beberapa saat lalu adalah wajar. Dengan kata lain, konflik yang sejak awal sangat berpotensi terjadi. Namun, apakah para pihak menyadari atau tidak potensi tersebut, tidak diketahui secara pasti. Apakah para pihak sudah melakukan atau tidak melakukan aksi preventive, juga tidak diketahui secara pasti. Para pihak disini mengacu kepada para sopir taxi (konvensional dan aplikasi) juga otoritas terkait. Namun, secara pribadi, Penulis sudah menyadari potensi tersebut.

Terkait kesadaran akan konflik (awareness), sangat jelas. Dimana potensi tersebut dapat terlihat dari keluhan para sopir taxi konvensional. Sederhana saja, penghasilan mereka menurun. Kenapa menurun? Jelas karena muncul kompetitor yang sangat bersifat predator (Predikat predator ditujukan kepada Taxi Aplikasi). Taxi konvensional selama ini, sejauh yang diketahui bersama hidup dan berkembang di jalur yang “katanya sesuai aturan”. Benar, Penulis sepakat dengan pendapat tersebut. Memang, taxi konvensional sesuai aturan menerapkan hal-hal sebagai berikut:
1. Membayar Pajak.
2. Memperhatikan standard pelayanan.
3. Memperhatikan standard keselamatan.
4. Memperhatikan standard karyawan/sopirnya.

Membayar Pajak adalah hal yang mutlak dilakukan taxi konvensional. Pajak yang dimaksud adalah Pajak sebagai kendaraan umum. Hal ini ditandai dengan mengenakan “plat kuning” pada setiap unitnya. Coba dibandingkan dengan taxi aplikasi. Taxi aplikasi menggunakan plat hitam. Bayar pajak? Memang bayar pajak, tetapi bukan pajak kendaraan umum, melainkan pajak kendaraan pribadi. Pajak yang dibayarkan tentunya adalah pajak yang diperuntukkan untuk kendaraan “plat hitam”. Plat hitam kendaraan pribadi, bukan plat hitam kendaraan niaga (mobil box atau pick up misalnya) yang digunakan untuk “cari makan”.

Terkait dengan standar pelayanan, taxi konvensional memiliki standardnya sendiri. Misalnya saja taxi bluebird. Taxi ini biasanya, dalam pelayanannya mengucapkan salam, membukakan pintu, membukakan dan memasukkan barang/tas ke bagasi. Ramah. Ramah merupakan sikap yang sangat subjektif untuk dinilai. Tetapi “ramah” ini sangat pentil untuk kenyamanan penumpang. Beberapa kali (pengalaman Penulis) si sopir memperkenalkan diri, atau kadang menawarkan jalur alternatif. Menanyakan apakah ingin singgah makan, atau sekedar membeli oleh-oleh. Kemudian mengingatkan kita akan barang bawaan agar jangan tertinggal, memastikan dompet atau handphone tetap dikantong kita. Terakhir, menawarkan nomor handphone jika kalau-kalau nantinya membutuhkan layanan mereka lagi. The last but not least, ucapan terima kasih buat penumpang. Nah, apakah taxi aplikasi menerapkan standard pelayanan seperti ini?

Taxi aplikasi pada dasarnya adalah mobil pribadi. Dengan mengandalkan kecerdasan, dijadikan alat untuk cari makan. Dengan kata lain, mengurangi pendapatan sopir taxi konvensional. Baiklah, saya sepakat bahwa para pelakon taxi aplikasi adalah orang-orang cerdas. Namun, meski cerdas, ada keharusan untuk fair dalam operasionalnya.
Disini peran pemerintah harus total. Taxi aplikasi tidak perlu di berangus. Tertibkan saja. Buat aturan, berikan tanda khusus, berikan kebijakan (mendalam) secara khusus. Buat bagaimana agar taxi aplikasi untuk ikut aturan. Daftarkan sebagai pengusaha. Jelaskan hak dan kewajiban mereka sebagai Taxi Aplikasi. Udah ah itu saja. Gitu aja kok repot?

#Depur_Indon
#Analis Indon

Leave a comment